• terNyata

    Andrew Yuen Lahir di Pontianak, 6 Oktober 1977. Putra pertama dari dua bersaudara. Sempat kuliah di Fakultas Pertanian Univ. Tanjungpura (1998), namun tidak diselesaikan. Kemudian beralih kuliah ilmu hukum di Fakultas Hukum Univ. Tanjungpura (2009).
    Selain menjadi pengurus DPC PDI Perjuangan Kota Pontianak, saya sangat menaruh perhatian terhadap isu-isu kedaulatan dan kemandirian bangsa, lewat lembaga Cikal Kalimantan yang didirikan pada 2012 silam. Salah satu fokus serius yang tengah digeluti hari ini adalah kebijakan pemerintah terkait kretek.
  • terGolong

  • TerBaru

  • terKunjungi

    • 3,534 klik
  • terSimpan

  • terRekam

    hit counter
    KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
    IP

Fotografi Kemerdekaan dan Kemerdekaan Fotografi

Oleh Asvi Warman Adam

Coba bayangkan seandainya tidak ada Frans Soemarto Mendur di Pegangsaan Timur 56 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945 ? Apakah proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dapat diyakini benar-benar terjadi? Sebagai fotografer ia mengabadikan peristiwa yang teramat bersejarah bagi bangsa Indonesia itu. Untuk menghindari penggeledahan Jepang, Frans Mendur menyembunyikan negatif film itu di dalam tanah pada halaman belakang kantornya. Foto-foto ini baru dimuat bulan Februari 1946 pada harian Merdeka.

Bukti sejarah yang lain yakni rekaman pidato Proklamasi itu sendiri tidak sempat dibuat waktu itu. Tahun 1950 Jusuf Ronodipuro berhasil membujuk Bung Karno untuk melakukan rekaman setelah mulanya ditolak. Proklamasi itu hanya sekali dan tidak diulang lagi, tukas Bung Karno. Tetapi ini perlu dan penting bagi sejarah terutama untuk generasi muda, ujar Jusuf Ronodipuro.

Fotografi itu bukan saja saksi sejarah tetapi juga bukti sejarah. Anekdot yang disampaikan sejarawan terkemuka Indonesia Sartono Kartodirdjo mengungkap hal ini. Dalam konferensi IAHA (International Association of Historians of Asia) ketiga di Manila tahun 1971, sejarawan Taufik Abdullah sehabis seminar bergurau kepada rekan-rekannya. Ia tidak akan mencuci tangannya sampai besok pagi, karena tangan itu masih wangi sehabis berjabatan tangan dengan Imelda Marcos, Ibu Negara dan mantan ratu kecantikan Filipina.

Sartono menukas, bersalaman berapa kali? Taufik Abdullah menjawab “satu kali”. Lalu Sartono membalas, saya tiga kali, stand 1-0 kata Sartono. Lalu Sartono menyerang lagi; apa buktinya bersalaman dengan Imelda? Kata Taufik tidak ada, sedangkan Sartono memperlihatkan foto ia bersalaman dengan Imelda Marcos. Skor 2-0.

Bukan hanya sebagai pelengkap sejarah, fotografi selain mewartakan perubahan juga ikut melakukan perombakan. Gunawan Mohammad dalam wawancara dengan Karen Strassler mengatakan bahwa pada tahun 1998 “Suharto was brought down by the photographe”. Mengenai penyebab jatuhnya Suharto tentu faktor dan unsurnya tidak tunggal, namun salah satunya adalah foto. Foto mahasiswa yang menyemut menduduki MPR dari kaki gedung sampai ke atapnya merupakan saksi dan “ketuk palu” terjadinya pengalihan kekuasaan.

Dalam suasana ketidakjelasan sekitar proklamasi dan sesudahnya, kekuasaan belum sepenuhnya di tangan bangsa Indonesia, maka fotografer perintis telah mengambil inisiatif mengambil gambar-gambar yang dirasa penting seperti proklamasi kemerdekaan dan lain-lain dengan peralatan terbatas. Dengan latar belakang demikianlah, Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) didirikan 2 Oktober 1946 di Jakarta oleh Alex dan Frans Mendur dkk. Selama tiga bulan pertama setelah proklamasi, sebelum ibukota pindah ke Yogyakarta, Alex Mendur dan Frans Mendur telah menghasilkan lebih dari 2500 foto. Koleksi negatif mereka periode 1945-1949 berjumlah 22.700 buah. Namun menurut Yudhi Soerjoatmodjo hanya 200 foto yang dimuat dalam berbagai publikasi selama 50 tahun terakhir ini. Berarti hanya 1 % foto yang dilihat masyarakat. Dengan demikian gambaran itu jelas tidak mewakili apa yang terjadi dan terekam semasa revolusi.

Padahal 99% foto itu memberikan gambaran yang berbeda bahkan bertolak belakang dari 1% yang digunakan sebagai ilustrasi kronik sejarah. Foto-foto IPPHOS tidak hanya gambar elite nasional tetapi juga orang biasa, petani, pedagang, buruh, perempuan, anak-anak bahkan ada pula pelacur, calo dan pemadat. Bukan hanya penguasa dan pemenang tetapi juga mereka yang nasibnya tetap di bawah.

Bila memotret para pemimpin yang ditekankan adalah aspek human interest. Lihatlah foto Amir Syarifuddin yang larut membaca buku tragedi “Romeo and Juliet” di atas gerbong kereta api yang membawanya ke hadapan regu tembak. Jangan lupa, pada saat anggota kabinet pertama berpose di depan rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 ada seekor anjing yang melintas dan moment itu tidak disia-siakan juru kamera.

Para fotografer IPPHOS bukan cuma menghilangkan suasana yang kaku dan berjarak pada fotografi Hindia-Belanda tetapi menghapus berbagai bentuk diskriminasi. Tidak ada lagi gambaran inlander yang berjongkok di depan tuan majikan Belanda. Dalam bidikan mereka, untuk pertama kalinya manusia Indonesia menjadi setara, duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan manusia dari belahan bumi lainnya. Manusia Indonesia itu tampil secara utuh, bisa menangis tetapi juga sering tersenyum. Mereka menjadi manusia merdeka. Pada gilirannya fotografi itu sendiri telah dimerdekakan dari paradigma fotografi kolonial. Inilah makna dari pameran fotografi sejarah yang diadakan di Galeri Antara, Jakarta, tanggal 15-25 Agustus 2008 dalam rangka memperingati hari kemerdekaan.

Tahun 1981 Roland Barthes mengatakan foto telah menggantikan monumen sebagai sarana pengingat masa lalu. Foto sebagai mechanical recorder of reality (Susan Sontag, 1988) telah menghapus jurang antara sebuah peristiwa dengan representasi fotografisnya. Di lain pihak, suatu seni termasuk foto tidak obyektif karena ia dilahirkan pemikiran subyektif, demikian kata Rodchenko (1851-1956). Belum lagi kalau karya itu ditekan unsur lain seperti kekuasaan, contohnya buku Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, terbit tahun 1984. Dalam foto pengibaran bendera tanggal 17 Agustus 1945 wajah Sukarno tidak terlihat. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menuding bahwa ini pemalsuan sejarah. Apalagi dikaitkan dengan upaya desukarnoisasi yang dilakukan rezim Orde Baru.

Namun pihak penerbit Sinar Harapan membantah, itu soal teknis karena foto yang diberikan terlalu kecil ketika diperbesar maka wajah Bung Karno terpotong. Yang jelas dalam cetakan kedua buku itu tahun 1986, wajah Sukarno sudah ada kembali. Namun kalau diperhatikan dengan seksama, ukuran foto pada cetakan pertama dan kedua ternyata sama saja. Jadi tidak ada yang diperbesar atau diperkecil. Boleh jadi dalam hal ini kemerdekaan fotografi telah diintervensi oleh politik.

(Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI).

One Response

  1. hahaha masih ganteng ya ternyata,,,,,
    c.u n jia yoou…..keep going!!!!!MERDEKA!!!!!

Leave a comment